0
Aliran Maturidiyah
Posted by Unknown
on
18.42
I.
LATAR
BELAKANG
Aliran al-Maturidiyah adalah sebuah aliran yang tidak jauh berbeda
dengan aliran al-Asy’ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap
sunnah. Bila aliran al-Asy’ariyah berkembang di Basrah maka aliran
al-Maturidiyah berkembang di Samarkand.
Kota tempat aliran ini lahir merupakan salah satu kawasan peradaban
yang maju, menjadi pusat perkembangan Mu’tazilah disamping ditemukannya aliran
Mujassimah, Qaramithah dan Jahmiyah. Menurut Adam Metz juga terdapat pengikut
Majusi, Yahudi dan Nasrani dalam jumlah yang besar.[1]
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Siapa
pendiri aliran al-Maturidiyah?
B.
Hal
apa saja yang menjadi ajaran pokok al-Maturidiyah?
C.
Apa
persamaan dan perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dengan Maturidiyah Bukhara
D.
Apa
persamaan dan perbedaan antara aliran al-Maturidiyah dengan al-Asy’ariyah?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pendiri
Aliran al-Maturidiyah
Aliran Maturidiyah ini berdiri atas prakarsa al-Maturidi pada tahun
pertama abad ke-4 H di wilayah Samarkand.[2]
Nama lengkap al-Maturidi adalah Abu Mansur Muhammad bin Muhamad bin Mahmud
al-Maturidi. Nama lengkap yang notabene menyebutkan nama ayah dan kakek ini,
kemudian lebih populer lagi hanya menyebutkan nama nisbatnya, yakni
“al-Maturidi” saja.[3]
Beliau dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah
Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun
kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya perkiraan sekitar pertengahan
abad ke-3 H. Beliau wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih
dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-Balakhi. Al-Maturidi hidup pada masa
khalifah al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M.[4]
Abu Mansur atau yang sering pula disebut al-Maturidi menerima
pendidikan yang baik dalam berbagai bidang ilmu keislaman dibawah emapat orang
guru yang terkenal pada waktu itu,yakni Syekh Abu Bakar Ahmad, Abu Nasr Ahmad
bin Abbas yang dikenal sebagai al-Faqih as-Samarkandi, Nusair bin Yahya
al-Balkhi dan Muhammad Qodli al-Roy. Semua guru tersebut bermadzhab Hanafi.
Oleh sebab itu tidak heran apabila Abu Mansur pun bermadzhab Hanafi.
Tokoh penting Maturidiyah adalah Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi
(421-493 H), neneknya adalah murid al-Maturidi dan al-Bazdawi memperoleh
ajaran-ajaran Maturidiyah daripadanya. Al-Bazdawi lah yang membawa ajaran
Maturidiyah ke Bukhoro, yang memperoleh banyak pengikut sehingga menjadi
Maturidiyah aliran/cabang Bukhoro. Pengikut al-Maturidi tidak selalu sepaham
denga gurunya, oleh sebab itu ada dua aliran Maturidiyah, yaitu aliran
Samarkand dan Aliran Bukhara.[5]
B.
Ajaran-Ajaran
Pokok Maturidiyah
Beberapa ajaran pokok Maturidiyah antara lain membahas:
1)
Masalah
akal dan wahyu
Dalam hal kemampuan akal manusia, al-Maturidi berpendapat bahwa
akal dapat:
a.
Mengetahui
adanya Tuhan
b.
Kewajiban
mengetahui Tuhan
c.
Mengetahui
baik dan jahat/buruk
Demikianlah pendapat al-Maturidi dan para pengikutnya di Samarkand.
Bahwa akal dapat mengetahui wujudnya Tuhan. Demikian pula kewajiban mengetahui
Tuhan dapat diketahui oleh seseorang yang sudah matang akalnya, kematangan akal
tidak ditentukan oleh umur. Bahwa apa yang baik dan jahatpun dapat diketahui
akal dan pikiran. Adapun kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan
yang jahat, akal tidak mampu mengetahuinya, hal ini hanya dapat diketahui oleh
wahyu. Aliran Samarkand ini tampak sekali mendekati Mu’tazilah, karena mengakui
kemampuan yang besar terhadap akal.
Sedang aliran Bukhoro berpendapat bahwa akal manusia hanya mampu
untuk mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan jahat. Adapun kewajiban, baik
kewajiban mengetahui Tuhan maupn mengetahui kewajiban melakukan yang baik dan
meninggalkan yang jahat, akal manusia tidak mampu mengetahui. Menurut aliran
Bukhara, akal tidak mampu meengetahui kewajiban. Masalah kewajiban hanya dapat
diketahui dengan pertolongan wahyu. Oleh sebab itu, sebelum datangnya para Rasul/wahyu, kita tidak berkewajiban percaya
kepada Tuhan dan bukan merupakan suatu dosa. Dengan demikian aliran Bukhara ini
mendekati pendapat Asy’ariyah, karena memandang lemah kemampuan akal manusia
dan memandang wahyu mempunyai kemampuan dan fungsi yang lebih tinggi.
2)
Perbuatan
Manusia
Apakah manusia mampu dan bebas mengadakan pilihan berdasarkan kemampuan
sendiri melakukan perbuatan (free will dan free act), ataukah manusia tidak
mampu memilih, apalagi melakukan perbuatan, sebagaimana paham Jabariyah,
sehingga hanya melakukan saja apa yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh
Tuhan (predestination).
Dalam hal ini al-Maturidi berpendapat bahwa perbuatan manusia
adalah juga ciptaan Tuhan. Al-Maturidi sebagai pengikut Abuu Hanifah menyebut
dua perbuatan yaitu perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan
adalah dalam bentuk penciptaan daya pada diri manusia, sedang pemakaian daya
itu ada pada manusia. Dengan kata lain, perbuatan manusia itu berarti majazi,
sedang hakekatnya adalah perbuatan manusia. Menurut Maturidi, daya itu dicipta
Tuhan bersama-sama dengan perbuatan manusia, bukan sebelum perbuatan manusia
sebagaimana paham Mu’tazilah.
Aliran Bukhoro berpendapat bahwa manusia hanyalah merealisir
perbuatan Tuhan, perbuatan manusia hakekatnya adalah perbuatan Tuhan, sedang
perbuatan manusia hanyalah dalam pengertian majazi saja. Untuk ini lantas mengajukan
dua konsep, yakni masyi’ah dan ridlo. Masyi’ah ialah kemauan/kehendak yang
bentuknya berupa berbagai pilihan perbuatan, yang baik dan yang jahat. Manusia
bebas memilih perbuatan mana yang akan dikerjakan, bila ia kerjakan yang baik,
ini sesuai dengan kehendak Tuhan dan diridloi Tuhan. Apabila ia pilih dan
kerjakan yang jahat, ini juga sesuai dengan kehendak Tuhan, tetapi tidak
diridloi Tuhan. Jadi, Tuhan itu adil, demikianlah yang dikehendaki Maturidiyah
dengan konsep ini.
3)
Kehendak
dan Kekuasaan Tuhan
Masalah ini erat hubungannya dengan persoalan kemampuan akal dan
kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan. Maturidiyah Bukhara berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Al-Bazdawi menjelaskan bahwa memang
Tuhan berbuat apa yang dikehendaki serta menentukan segala sesuatu dengan
menurut kemauan dan kehendak-Nya sendiri. Tidak ada yang dapat menentang,
menghalangi ataupun memaksa Tuhan, tidak ada larangan bagi Tuhan, demikian pula
tidak kewajiban. Dengan aliran ini sepaham dengan Asy’ariyah.
Adapun Maturidiyah Samarkand memberikan batasan sebagai berikut:
a.
Kemerdekaan
dalam kemauan dan perbuatan adalah pada manusia.
b.
Bahwa
apabila Tuhan menjatuhkan hukuman, bukan berarti sewenag-wenang, tapi
berdasarkan atas kemerdekaan manusia di dalam menggunakan daya yang telah
diciptakan Tuhan dalam dirinya, terserah kepada manusia, apakah akan melakukan
perbuatan yang baik ataukah yang jahat. Untuk itu Maturidiyah Samarkand
mengajukan konsep Masyi’ah dan ridlo sebagaimana diterangkan di muka.
c.
Keadaan
hukuman-hukuman Tuhan baik pahala ataupun siksa sebagaimana kata al-Bayadi
tidak boleh tidak mesti terjadi. Adapun mengenai ukuran siksa atau pahala
adalah ditentukan oleh Tuhan dengan pengetahuan dan kemauan-Nya sendiri.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Samarkand lebih
mendekati kalau tidak dikatakan sama dengan paham Mu’tazilah
4)
Masalah
keadilan Tuhan
Paham kekuasaan mutlak pada Tuhan, menimbulkan bantahan dan
sanggahan, karena membayangkan suatu pengertian bahwa Tuhan pada suatu ketika
akan berbuat tidak adil. Akan tetapi paham keadilan Tuhan bisa pula menimbulkan
pengertian bahwa Tuhan adalah tidak berkuasa mutlak, karena kekuasaannya akan
dibatasi oleh keadilannya.
Dalam hal ini Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa perbuatan
manusia adalah perbuatannya sendiri dalam arti yang sebenarnya, karena manusia
menurut pandangannya adalah bebas di dalam kemauan dan berbuat (free will dan
free act). Dengan demikian bagi Maturidiyah Samarkand tidak begitu sukar
memahami masalah keadilan. Sebagaimana diketahui bahwa keadialn menurut
Mu’tazilah adalah erat hubungannya dengan hak, dimana uhan akan memberi kepada
seseorang akan haknya. Keadilan Tuhan berarti Tuhan berkewajiban membuat apa
yang baik dan terbaik bagi manusia, termasuk di dalamnya memberi daya pada
manusia untuk berbuat.
Bagi Maturidiyah Bukhara, mereka berpendapat bahwa perbuatan
manusia pada hakekatnya adalah perbuatan Tuhan. Pendapat ini akan cenderung
berakibat bahwa Tuhan tidak adil atau dengan kata lain Tuhan adalah dzalim.
Untuk menghindari kecaman ini mereka berpendapat bahwa Tuhan yang berkuasa
mutlak berbuat sekehendak hatinya dan penciptaannya tidak mesti harus
mengandung hikmah. Alam yang diciptakan ini bukan untuk kepentingan manusia.
Selanjutnya mereka mengajukan konsepsi masyi’ah dan ridlo, dimana manusia bebas
berbuat menurut pilihan dan kemauannya, apabila ia pilih dan kerjakan yang baik
maka adalah sesuai serta mendapat ridlo dari Tuhan, sebaliknya apabila ia pilih
dan kerjakan yang buruk/jahat maka tidak dikehendaki dan tidak akan mendapat
ridlo dari Tuhan.[6]
C.
Persamaan
dan Perbedaan Maturidiyah Samarkand dengan Bukhara
Persamaan antara kedua cabang aliran Maturidiyah ini adalah
sama-sama mendapatkan pandangan-pandangan tauhid dan pendapat Imam Abu Hanifah.
Sedangkan perbedaannya terletak pada pemikirannya. Maturidiyah Samarkand yaitu
pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat
kepada paham Mu’tazilah dan Maturidiyah Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi yang
condong kepada Asy’ariyah. Hal ini dapat terlihat pada pembahasan bagian
ajaran-ajaran pokok di atas yang telah dijelaskan.
D.
Persamaan
dan Perbedaan al-Maturidiyah dengan al-Asy’ariyah
Berikut adalah perbedaan antara Maturidiyah dan Asy’ariyah yang
dikemukakan oleh Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhrul Islam:
a.
Mengenai
Qadla dan Qadar
Menurut Maturidiyah, Qadla adalah ketentuan Tuhan sejak azali,
tentang segala sesuatu yang mesti akan terjadi sesuai dengan ketentuan itu, sedang
Qadar adalah terjadinya perbuatan itu.
Asya’ariyah berpendapat bahwa Qadla adalah iradah Tuhan sejak azali
tentang segala sesuatu dengan ketentuan yang khusus, sedang Qadar adalah
perhubungan iradah Tuhan itu dengan ketentuan tersebut.
b.
Mengenai
Iman
Tentang Iman, menurut Maturidi, sebelum datangnya Rasul, dengan
akalnya manusia wajib mengetahui Tuhan, tetapi bagi Asy’ariyah, tidak wajib
iman, oleh sebab itu tidak pula dilarang ataupun berdosa orang yang ingkar atau
kafir, sebelum datangnya Rasul/Syari’at.
Iman menurut Maturidi adalah ikrar dan tashdiq, pengakuan tentang
kebenaran, hal ini hanya cukup di dalam hati saja. Menurut Asy’ariyah, Iman
tidak cukup dalam hati saja, tetapi harus dibuktikan dengan ucapan yaitu
membaca syahadat serta amalan.
Sedangkan untuk persamaannya, kedua aliran ini, Maturidiyah dan
Asy’ariyah sezaman dan sama pula lawan yang dihadapinya, yaitu Mu’tazilah.
Hanya saja pendiri Maturidiyah berada di Samarkand, sedang al-Asy’ariyah berada
di Basrah. Pusat kegiatan Mu’tazilah, bahkan dia sendiri pernah menjadi
pengikut dan tokohnya.
Oleh sebab itu antara keduanya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Perbedaan ini
terjadi karena kondisi tempat yang berbeda, serta madzhab yang dianut.
Sebagaimana diketahui al-Asy’ari dan Asy’ariyah adalah penganut madzhab
Syafi’i, sedang Maturidiyah adalah bermadzhab Hanafi, hal ini tentu akan ikut
mewarnai pendapat dan jalan pikiran mereka.[7]
Sebagaimana al-Asy’ari, al-Maturidi juga menggunakan metode dan
sikap at-tawassuth (moderat dan jalan tengah). Dr. Ali Abdul Fatah Al-Maghribi
mengatakan hal ini: “Sikap fundamental metodologi al-Maturidi adalah tawassuth
(moderatif) antara an-naqli dan al-‘aqli, al-Maturidi menganggap suatu
kesalahan apabila kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql),
seperti halnya kesalahan jika kita larut tidak terkendali dalam menggunakan
nalar (aql) saja. Sikap yang adil adalah tawassuth antara keduanya (naql dan
aql)”[8]
IV.
KESIMPULAN
Aliran
Maturidiyah didirikan oleh Abu Mansur atau yang sering pula disebut
al-Maturidi. Aliran ini didirikan di daerah Samarkand pada tahun pertama abad
ke-4 H. Pada aliran ini terdapat empat pokok ajaran yang diajarkan pada para
pengikutnya, yakni masalah akal dan wahyu, perbuatan manusia, kehendak dan
kekuasaan Tuhan, dan masalah keadilan Tuhan. Pada empat pokok ajaran ini,
cabang aliran Maturidiyah Samarkand dan Bukhara memiliki perbedaan pendapat
dikarenakan perbedaan tentang keterbukaan akal pada masing-masing aliran
memiliki kecenderungan menganut mazhab yang berbeda. Samarkand cenderung lebih
dekat dengan Mu’tazilah dan Bukhara lebih dekat dengan Asy’ariyah. Namun kedua
cabang aliran ini juga memiliki persamaan yakni, keduanya sama-sama mendapatkan
pandangan-pandangan tauhid dan pendapat Imam Abu Hanifah
REFERENCES
Al-Barsany, Noer Iskandar. Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam
Ahlussunah waljamaah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2001.
Hasan, Muhammad Thoha. Ahlusunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan
Tradisi NU. Jakarta: Lantabora Press. 2005.
Ishak, Muslim. Sejarah dan Perkembangan Theologi Islam. Semarang:
Duta Grafika. 1988.
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Sinar
Grafika ofset. 1995.
Rozak, Abdul dan Anwar,Rosihon. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
2010.
[1] Muhammad Thoha
Hasan, Ahlusunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Jakarta:
Lantabora Press, 2005) hal.24
[2] Ibrahim
Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Sinar Grafika ofser,
1995) hal.80
[4] Abdul Rozak
dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hal.124
[5] Muslim Ishak, Sejarah
dan Perkembangan Theologi Islam (Semarang: Duta Grafika, 1988) hal.142-143
[6] Muslim Ishak, Sejarah
dan Perkembangan Theologi Islam, hal.143-147
[7] Muslim Ishak, Sejarah
dan Perkembangan Theologi Islam, hal.147-149
[8] Muhammad Thoha
Hasan, Ahlusunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, hal.25